Taman NARMADA, NTB, Lombok

Pada tahun 2001, saya dan teman teman yang sedang belajar di IALF Bali, berkesempatan berlibur ke Pulau Lombok. Kebetulan waktu ada liburan beberapa hari, dan salah seorang teman peserta APP (Academic Preparation Program) yang bernama I Wayan Suadnya adalah seorang dosen di Universitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beliau mengajak kami untuk jalan jalan ke Lombok waktu itu.
Kami berangkat 7 orang. Selain aku, ada Jeremy, Galuh, Ninik, Dewi, Nani, Yuni. Kami berangkat dari Denpasar ke Pelabuhan penyeberangan Padangbai di Kabupaten Karangasem kemudian naik kapal Feri penyeberangan Bali – Lombok selama 3 atau 4 jam dan tiba dipelabuhan Lembar pulau Lombok. Selama di Mataram, kami yang menginap dirumah teman kami yang dosen itu. Ada beberapa tempat yang sempat kami kunjungi saat itu. Selain pantai Senggigi yang indah, pusat kerajinan gerabah, keliling kota naik Cidomo (kereta kuda), Suranadi dimana ada pura Hindu tertua dan didekatnya ada pelatihan gajah, Lingsar dimana ada ikan keramat dikolam. Salah satu tempat pemandian rajayang sempat kami kunjung adalah adalah Taman Narmada.
Taman Narmada adalah taman yang dibangun pada tahun 1727 M oleh seorang Raja bernama Anak Agung Gde Ngurah Karangasem, seorang raja Hindu Bali yang berkuasa di Lombok pada masa itu. Tujuan pembangunannya agak berbeda dengan taman taman lainnya di Nusa Tenggara Barat. Taman ini selain sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarganya, ditengah suasana alam yang indah, juga difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ritual keagamaan lainnya.
Nama NARMADA diambil dari nama sungai di India yang dianggap sungai suci oleh umat Hindu. Dikisahkan bahwa ketika sang raja sudah terlalu tua untuk naik ke puncak gunung Rinjani di danau Segara Anak untuk melaksanakan ritual kurban atau Pekelan, beliau kemudian memerintahkan semua arsitek kerajaan untuk membangun tempat yang suasananya mirip gunung Rinjani ke tengah tengah kerajaan dilengkapi dengan kolam sebagai pengganti danau Segara Anak. Akhirnya dibangunlah taman Narmada ini, sebagai tempat pemujaan Dewa Shiwa dan sekaligus tempat peristirahatan keluarga kerajaan.
Ritual Pekelan atau Meras Danoe rutin dilaksanakan oleh kerajaan sekali setahun dan biasanya dilaksanakan di danau Segara Anak yang ada dipuncak gunung Rinjani. Ritual ini dipimpin langsung oleh raja. Dalam ritual ini biasanya benda yang terbuat dari emas dan hewan hewan air akan dilarung , sambil memohon agar dewa dewa melimpahkan rezeki dan kebahagiaan kepada raja dan warga kerajaan. Ketika taman Narmada selesai dibangun, upacara ritual keagamaan mulai dilaksanakan di taman ini, tetapi acara larung saji tetap dilaksanakan di danau Segara Anak, dilaksanakan oleh para pembantu kerajaan.
Taman ini sudah dijadikan Benda Cagar Budaya oleh pemerintah setempat, namun tetap terbuka untuk umum dan tetap dijadikan tempat ritual keagamaan. Taman ini ramai terutama saat liburan sekolah, karena ada tempat permandia yang memang untuk umum. Tetapi ada juga tempat yang sakral dan tidak boleh dimasuki selain untuk acara ritual Hindu. Ditaman ini juga ada Bale Agung yang merupakan tempat raja beristirahat, sambil menyaksikan selir selirnya mandi. Konon, air yang ada dikolam kolam yang ada ditaman ini mengalir langsung dari gunung Rinjani dan dipercaya oleh sebagian orang sebagai obat awet muda. Pada bagian atas taman, terdapat Pura Hindu namanya Pura Kalasa. Pura ini dapat dicapai setelah menaiki sekian banyak anak tangga, seakan akan kita naik gunung Rinjani. Ada tiga kolam ditaman ini sama dengan jumlah danau di Segara Anak yang ada dipuncak Rinjani. Suasananya sangat sejuk, rindang, teduh, dengan pepohonan dan kolam kolam dengan air yang jernih. Kalau ke Lombok, jangan lupa ke taman Narmada. Gambar: Koleksi Pribadi dan kaskus.com, promosiwisata.com.

Masjid "Amirul Mukminin" Makassar

Hari Sabtu lalu saya sekeluarga berkunjung ke Masjid Amirul Mukminin, atau oleh warga Makassar lebih akrab disebut masjid terapung, karena dibangun diatas air dengan menggunakan sekian banyak tiang pancang sebagai penopangnya. Sebenarnya tujuan utama kami adalah mengunjungi pameran pembangunan (South Sulawesi Expo) yang dilaksanakan di gedung Celebes Convention Centre (CCC). Lokasi gedung pameran ini tidak jauh dari pantai Losari dimana terdapat Masjid Amirul Mukminin ini. Saya memutuskan, menikmati matahari terbenam (sunset) di Pantai Losari yang terkenal keindahannya itu, lalu ikut shalat Magrib berjamah di masjid terapung bersama anak anak dan istri. Saya sebenarnya sudah sering ke pantai Losari, tapi belum pernah shalat berjamaah di masjid yang baru dibangun ini.
Masjid Amirul Mukminin mulai dibangun pada tahun 2009, tepatnya 8 Mei 2009. Arsiteknya adalah bapak Muhammad Ramadhan ‘Danny’ Pomanto. Tujuan utama pembangunan masjid ini adalah agar para pengunjung atau warga masyarakat muslim yang datang ke pantai Losari kapan saja dapat tetap dapat melaksanakan kewajibannya shalat lima waktu di masjid. Selama ini masyarakat kesulitan saat menikmati sunset dan kemudian bermaksud shalat magrib, harus berjalan ke masjid di kampung Melayu atau masjid dibelakang Arya Duta, yang dirasa cukup jauh dari pelataran Bahari (pelataran utama di Pantai Losari). Masjid ini adalah bagian dari renovasi besar besaran pantai Losari selama pemerintahan bapak Ilham Arif Sirajuddin. Selain masjid, juga dibangun pelataran Bahari, pelataran Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Saat ini baru pelataran Bugis dan Makassar serta pelataran utama (Bahari) yang selesai dibangun, termasuk masjid yang juga sudah diresmikan oleh Walikota Makassar Ilham Arif Sirajuddin tanggal 8 Maret 2013 lalu.
Untuk memasuki area masjid, ada dua jalur jalan semacam jembatan, satu dari arah jalan Penghibur disebelah timur, depan hotel Aryaduta dan satu diselatan dari arah jalan Metro Tanjungbunga (Jl. Dg. Patompo). Bangunan masjid terdiri dari tiga lantai, lantai dasar untuk jamaah laki laki, lantai dua untuk jamaah perempuan dan lantai tiga diperuntukan bagi orang yang akan shalat sunat sendirian. Tempat wudhu untuk laki laki dibagian selatan, dan perempuan dibagian utara. Bagian dalam masjid cukup indah dengan hiasan lampu gantung bulat putih yang banyak. Masjid seluas 1.683 meter persegi ini ditopang oleh 164 tiang pancang membuatnya kokoh berdiri diatas permukaan laut pantai Losari.
Masjid ini mampu menampung 450 jamaah khusus dalam area masjid. Apabila jalur masuknya juga dipakai maka mampu menampung 1000an jemaah. Konon, masjid ini kalau dilihat dari udara, menyerupai angka 99 yang merupakan representasi jumlah nama Allah SWT. Adapun nama Amirul Mukminin dikarenakan biaya pembangunan masjid ini adalah sumbangan dari beberapa orang pemimpin, dan sama sekali tidak menggunakan anggara dari daerah, tapi murni sumbangan tokoh dan masyarakat sendiri. Masjid ini juga dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan tempat berkumpul tokoh masyarakat. Masjid terapung Amirul Mukminin ini menambah ikon atau landmark kota Makassar. Selain masjid terapung ini, sebelumnya sudah ada Masjid Al-Markaz Al-Islamy, dan Masjid Raya. Bagi anda yang pendatang, sila nikmati keindahan sunset diteras Masjid Amirul Mukminin sambil menunggu shalat magrib berjamaah.
Gambar: koleksi pribadi dan makassarkota.go.id.

Don’t Judge a Book by its Movie...

Film “Sang Penari” akhir tahun lalu meraih pengharghaan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 2011. Banyak penonton film tersebut yang tidak mengetahui bahwa film tersebut sebenarnya adalah interprestasi visual dari buku novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari. Cukup serimg kita menyaksikan banyak film di Bioskop yang diadaptasi dari sebuah novel. Kalau bukunya laris para pekerja film akan mengangkatnya kelayar lebar. Rata rata film yang diadaptasi dari sebuah buku novel laris manis dibioskop. Buku novelnya juga terlebih dahulu laris sehingga menarik para produser untuk membuat filmnya. Bahkan dulu tahun 1990-an ada film yang diadaptasi dari sebuah lagu, yaitu lagu Isabella yang dinyanyikan grup penyanyi “Search” dari Malaysia. Filmnya kerjasama Indonesia dan Malaysia dan cukup laris di bioskop dikedua negara. Film film Indonesia seperti “Ayat Ayat Cinta”, “Laskar Pelangi”, “Sang Penari”, “Perempuan berkalung Sorban” dan masih banyak lagi adalah adaptasi dari novel novel laris. Sejak tahun 1970-an sampai sekarang banyak film yang diangkat kelayar lebar. Novel karya Mira W. dan Marga T., banyak yang diangkat menjadi film. Novel berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya juga banyak yang dijadikan film. “Harry Potter” misalnya yang baik bukunya maupun filmnya sangat laris diseluruh dunia. Buku dan filmnya bersequel sampai tujuh (7). Kebanyakan penonton film film adaptasi tersebut belum pernah membaca novel sumbernya. Mengapa? Karena kebanyakan orang tidak punya waktu untuk membaca atau memang karena minat bacanya kurang. Kalau membaca bukunya mungkin butuh waktu berhari hari supaya bisa tamat, sementara menonton filmnya paling lama 2 jam saja selesai.

Membaca buku juga merupakan kegiatan yang menyendiri (kecuali pada “reading club” yang ada dinegara maju) sedangkan pergi kebioskop untuk menonton film adalah kegiatan sosial yang menyenangkan apalagi jika menonton berdua atau bertiga dengan dengan teman atau keluarga. Kegiatan menonton juga relatif lebih mudah dan tidak butuh konsentrasi tinggi, sedangkan membaca buku, perlu konsentrasi agar isi buku (cerita) dapat dipahami dengan baik. Membeli buku novelnya lebih mahal daripada membeli tiket nonton dibioskop, tetapi tiket bioskop tidak bisa digunakan berkali kali. Buku novel yang dibeli, bisa disimpan dan dikelola sebagai Perpustakaan Pribadi dan dapat diwariskan kepada anak anak dan cucu dan dikemudian hari dibaca oleh anak anak kita, anggota keluarga lain, tetangga dan teman teman dan sahabat. Saya pribadi lebih suka membaca bukunya dan tidak menonton filmnya. Sampai sekarang saya belum pernah menonton film “Laskar Pelangi” baik yang diputar di Bioskop, maupun setelah diputar di TV maupun dari DVD sewaan. Ketika buku tersebut terbit pertama kali dan saya membacanya sampai tuntas, dalam pikiran saya secara otomatis telah terbentuk suatu gambaran tersendiri, gambaran suatu cerita yang tuntas dan selesai, tentang bagaimana wajah wajah dan karakter para pelaku cerita, keadaan kampung, alam sekitar dan sekolahnya. Kalau saya kemudian menonton filmya, tentu itu adalah gambaran pemikiran dan adaptasi visual sutradaranya terhadap cerita itu. Pasti gambaran di film berbeda dengan gambaran yang ada dalam pemikiran saya tentang kisah Laskar Pelangi ini. Saya tidak mau pemikiran sutradara “merusak” gambaran cerita yang telah ada dipikiran saya setelah selesai membaca novel itu.

Buku Harry Potter edisi pertama saya baca edisi aslinya (dalam bahasa Inggris) karena waktu itu saya sedang diluarnegeri melanjutkan studi. Tetapi kemudian ketika muncul film sequel pertamanya, saya sempatkan pergi ke bioskop nonton bersama teman kuliah. Mengapa saya tonton juga, alasan pertama, karena bukunya berbahasa Inggris, tentu gambaran yang ada dalam pemikiran saya tidak sesempurna kalau saja saya baca edisi bahasa Indonesianya. Bahasa Inggris adalah bahasa ke-4 yang kukuasai dan termasuk bahasa asing. Saya berusaha menyelaraskan antara gambaran yang ada dalam pikiran saya yang berhasil saya tangkap dari bacaan, dengan gambaran yang disuguhkan di film. Alasan kedua saya, karena di negara bagian New South Wales, Australia, pelajar dan mahasiswa mendapat diskon 50% jika membeli tiket hiburan, baik di Bioskop, maupun ditempat hiburan lainnya. Edisi kedua dan ketiga Harry Potter yang saya baca juga dalam bahasa Inggris. Edisi ke-4 sampai ke-7 saya baca setelah di Indonesia dan hanya terjemahannya saja.

Sebaiknya, baca dulu bukunya baru nonton filmya kalau memang berminat. Tapi sebenarnya jauh lebih baik kalau setelah membaca bukunya, tidak usah menonton filmnya. Buku novel yang ditulis oleh pengarangnya (author) kalau sudah difilmkan pasti akan berbeda penggambarannya, karena sudah ada campur tangan sutradara. Dengan kata lain, buku novel adalah sumber cerita pertama, dan filmnya adalah cerita yang diceritakan kembali dan tentu dengan perbedaan perbedaan disana sini. Kalau seorang yang sudah membaca bukunya lalu menonton filmnya ditanya, bagaimana filmnya? Biasanya seorang pembaca (reader) akan menjawab, “dibuku novelnya ceritanya tidak begitu.” Nah, loh…….. Makanya, don’t judge a book by its movie (bukan by its cover). Jangan menilai sebuah buku dari film adaptasinya. Selamat Membaca!!!!

Arsiparis, Jabatan Fungsional yang Kurang Diminati

Arsiparis adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang melakukan pekerjaan kearsipan (PP.16/1994 Tentang Jabatan Fungsional). Jabatan fungsional ini sudah ditetapkan dan diakui oleh pemerintah sejak tahun 1990 Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 36/ 1990 pada tanggal 8 November 1990. Dengan demikian PNS yang mengelola arsip dan dokumen yang ada dikantor pemerintah yang diangkat menjadi pejabat Arsiparis sudah dianggap pejabat fungsional, sama dan setara jabatan fungsional lainnya seperti: dokter, perawat, dosen, guru, bidan, penerjemah, pranata komputer, pustakawan, jagawana, penyuluh pertanian, widyaiswara dll. Arsiparis dapat naik pangkat setiap dua tahun sekali kalau jumlah kredit poin yang ditentukan telah terpenuhi. Kalau pagawai yang bukan fungsional harus bekerja 4 tahun lamanya untuk naik pangkat. Arsiparis juga menerima tunjangan jabatan sebagaimana pejabat lainnya (struktural maupun fungsional) sesuai dengan tingkatan golongan dan pangkatnya. Jumlah tunjangan Arsiparis mulai dari yang terendah Arsiparis Pelaksana yang besarnya Rp. 240.000/bulan dan yang tertinggi Arsiparis Utama sebesar Rp.700.000/bulan sesuai dengan Peraturan presiden No. 46 Tahun 2007 tentang Jabatan Fungsional Arsiparis. Tingkatan pangkat pajabat arsiparis yaitu: Jenjang Arsiparis Tingkat Terampil dari terendah sampai tertinggi: 1. Arsiparis Pelaksana 2. Arsiparis Pelaksana Lanjutan 3. Arsiparis Penyelia Jenjang Arsiparis Tingkat Ahli dari terendah sampai tertinggi: 4. Arsiparis Pertama 5. Arsiparis Muda 6. Arsiparis Madya 7. Arsiparis Utama Sebenarnya jabatan arsiparis termasuk jabatan yang sudah ada di Indonesia sejak lebih seabad yang lalu, tepatnya pada tahun 1892 ketika J.A. Van der Chijs diangkat sebagai “Landarchivaris” oleh pemerintah kolonial Belanda sesuai dengan SK Gubernur Jendral No. 23 tahun 1892 (Staatblaad no. 34 Tahun 1892). J.A. Van der Schijs inilah arsiparis pertama yang ada di Indonesia, meskipun sebenarnya dia adalah orang Belanda. Jumlah arsiparis yang ada di seluruh Indonesia adalah 3113 orang sesuai data dari kantor Arsip Nasional RI (ANRI) tahun 2010. Sangat sedikit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan arsiparis di kantor lembaga pemerrintahan. Kenyataan ini tentu mengherankan karena setiap kantor (baik pemerintah maupun swasta) pasti mempunyai arsip dan harus mengelola arsip dan dokumen dengan benar. Dan tidak semua kantor memiliki perpustakaan. Dari segi jumlah, dapat dikatakan bahwa jabatan arsiparis kurang diminati oleh PNS. Ada beberapa alasan mengapa jabatan ini kurang diminati oleh para PNS. Yang pertama adalah, adanya stigma yang menganggap rendah pegawai yang bekerja dibidang kearsipan. Pekerjaan pengelola dokumen dan arsip dianggap tidak bergensi dan “tidak basah”. Pegawai yang pada awalnya bukan dibagian kearsipan, ketika dimutasi ke pengelolaan arsip akan berpikir, “apa kesalahan saya?” Pengelola kearsipan seringkali diserahkan kepada orang yang kurang capak dan kurang berpendidikan. Alasan kedua adalah tunjangannya sedikit lebih rendah dibanding tunjangan jabatan fungsional lainnya misalnya pustakawan. Ketiga, pengumpulan kredit poin untuk naik pangkat kadang dianggap sulit bagi PNS, sehingga butuh waktu dan tenaga lebih untuk mengusulkan kenaikan pangkat. Jumlah yang diusulkan pun belum tentu diterima dan dianggap sah semua oleh tim penilai arsiparis. Keempat, tidak semua daerah di Indonesia memiliki pejabat penilai angka kredit arsiparis, sehingga ada Arsiparis yang tidak tahu kemana harus melapor setelah mengumpulkan poin angka kredit. Untuk lebih meningkatkan minat PNS menjadi arsiparis pihak yang berwenang seperti ANRI, kementrian PAN, Pemerintah daerah haruslah saling bekerjasama mengatasi segala permasalahan yang ada terutama ke-4 poin yang saya sebutkan sebelumnya. Peningkatan kualitas SDM arsiparis yang sudah ada juga perlu supaya stigma bahwa pekerjaan arsiparis itu rendah bisa hilang atau setidaknya berkurang. Arsip Nasional RI juga haruslah aktif mengadakan pelatihan bagi para PNS yang ingin menjadi Arsiparis. Sampai sekarang masih banyak kabupaten dan kota yang tidak memiliki arsiparis, terutama kabuten hasil pemekaran dan yang jarak tempuhnya cukup jauh dari ibukota provinsi.

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts