Kisah Kartu Kredit


Beberapa waktu lalu, pada salah satu koran lokal di Makassar, saya membaca berita tentang seorang yang memiliki lebih dari 3.000 kartu kredit. Pemilik kartu kredit tersebut bukan orang Indonesia tapi orang Amerika Serikat. Entah bagaimana orang tersebut mengurus dan mengelola kartu kredit sebanyak itu. Setahu saya, satu atau dua buah kartu kredit saja sudah merepotkan, apalagi sampai lebih dari 3000 buah. Dikoran lokal maupun nasional, hampir setiap hari terungkap lewat surat pembaca tentang permasalahan yang dihadapi para pemegang kartu kredit. Ada yang susah menutup kartu kreditnya, ada yang secara diam diam kartu kreditnya digunakan orang lain, ada yang tertipu dengan cicilannya, ada yang sudah menutup kartu kreditnya tapi tagihannya tetap jalan, bahkan ada yang sampai dianiaya oleh para debt-collector.


Saya salah satu diantara sekian banyak orang yang tidak memiliki kartu kredit sampai sekarang. Entah dimasa depan, tapi sepertinya saya tidak pernah tertarik memilikinya. Hampir setiap hari selalu saja ada dua atau tiga orang SPG (Sales Promotion Girls) datang kekantor kami menawarkan kartu kredit kepada para pegawai dikantorku disalah satu kantor pemerintah. Namun saya tetap bertahan untuk tidak menggunakan kartu kredit untuk segala transaksi keuangan saya. Di kantor kami, rata-rata yang memiliki kartu kredit adalah para pejabat, atau yang bukan pejabat tapi memiliki bisnis diluar kantor.

Mengapa saya sampai tidak tertarik memiliki kartu kredit. Ada kisah nyata yang saya alami sendiri yang terjadi 1997 atau 1998 lalu. Waktu itu saya baru saja diterima bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada salah satu kantor pemerintah. Semua urusan keuangan PNS dikantorku dikelola oleh salah satu Bank pemerintah dikotaku. Jadi sayapun sering bolak balik ke Bank tersebut untuk transaksi keuangan, baik untuk menabung, mengambil gaji, mentransfer uang dan lain lain. Begitu pula teman kantorku sesama PNS lainnya.


Pada suatu hari saya berada di Bank pemerintah tersebut untuk mengurus kartu ATM. Waktu itu belum banyak PNS yang menggunakan kartu ATM. Masih banyak yang lebih suka antri dikasir Bank saat gajian tiba. Saya lebih suka yang praktis dan tidak mau repot repot antri gajian di bank. Setelah urusah kartu ATM selesai, saya didekati oleh salah seorang pegawai wanita bank tersebut dan ditawari untuk memiliki kartu kredit. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik, karena kupikir, jumlah gaji PNS tidaklah mencukupi untuk memiliki kartu kredit. Namun pegawai bank tersebut terus meyakinkan saya tentang segala keuntungan dan kelebihan kartu kredit. Akhirnya sayapun mendaftar, didepan konter kartu kredit dibank tersebut. Semua informasi tentang diri saya sebagai PNS kuisikan pada surat permohonan kartu kredit yang diberikan, dan tentu saja semua kuisi dengan jujur sampai selesai, dan kembali kekantor.


Beberapa bulan kemudian, belum juga saya menerima kartu kredit yang dijanjikan. Saya kemudian berangkat keluarnegeri untuk melanjutkan pendidikan S2 saya setelah lulus tes beasiswa dari salah satu negara maju. Saat diluar negeri saya menelpon ke keluarga di Makassar menanyakan apakah sudah ada diterima kartu kredit dari salah satu bank. Setiap kali saya menelpon, jawaban keluarga selalu “belum ada!”. Namun pada suatu hari saya menelpon lagi, dan keluargaku memberi informasi tentang surat dari Bank. Saat kutanyakan, apakah ada kartu kredit didalam surat tersebut, keluargaku menjawab ‘tidak ada’ dan katanya lagi, “permohonan kartu kreditmu ditolak oleh Bank, karena gajimu tidak mencukupi!”. Terus terang, saya tidak kaget dan malah sudah memperkirakan hal itu, karena kupikir kalau sampai berbulan bulan tidak ada jawaban, pasti permohonan itu ditolak. Lagi pula waktu itu saya hanya PNS baru golongan 3A dengan gaji yang pas-pasan. Akhirnya saya pun melupakan peristiwa itu.


Di luarnegeri, saya kuliah dan menggunakan kartu ATM yang juga berfungsi sebagai kartu Debet. Semua berjalan lancar, bahkan penggunaan kartu ATM sebagai kartu Debet juga sangat praktis. Hampir semua toko dan mall bisa menerimanya. Sampai saya pulang ke Indonesia kembali setelah tinggal 2,5 tahun diluar negeri, saya tetap tidak memiliki kartu kredit.


Sekarang, setelah kembali ke Indonesia (Makassar) dan kembali bekerja di kantor pemerintah yang telah saya tinggalkan untuk belajar, saya masih sering saja ditawari kartu kredit oleh para SPG atau SPB (Sales Promotion Boy) dari berbagai Bank. Ketika saya ungkapkan tentang gajiku yang tidak mencukupi, para sales itu kemudian berkilah, “Oh, itu bisa diatur pak, dengan bendahara gaji!”. Namun saya tetap menolak “mengatur” besaran jumlah gaji dengan bendahara gaji. Kupikir, disinilah awal mula segala permasalahan dengan kartu kredit tersebut. Gaji tidak mencukupi tapi dengan cara bekerja sama dengan bendahara gaji di kantor kantor pemerintah untuk menyebut jumlah gaji yang lebih besar dari sebenarnya pada surat permohonan, untuk mendapatkan kartu kredit.


Saya sudah golongan 4 sebagai PNS tapi sampai sekarang, saya merasa mungkin gaji saya tetap belum mencukupi untuk membayar tagihan tagihan kartu kredit. Para SPG kartu kredit itu sering berkata bahwa dengan memiliki kartu kredit, kita gampang transaksi kalau keluar negeri. Dalam hati saya berkata, saya sudah berkunjung ke beberapa negara dan tanpa menggunakan kartu kredit dan semua lancar lancar saja. Atau mungkin karena saya memang kalau keluar negeri tidak bermaksud memborong semua barang barang mahal. Saya hanya membeli baju kaos atau gantungan kunci untuk oleh-oleh anak-anakku, teman kerja, tetangga dan kerabat hahahahha 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts